Sabtu, 03 Maret 2018

SASTRA, SEBUAH TAMAN BUNGA


Ahmad Anshori *

“Urusan yang coba kutuntaskan, melalui kekuatan kata-kata, adalah membuatmu mendengar, membuatmu merasakan—dan yang utama adalah membuat matamu terbuka. Begitulah, tidak lebih.” – Joseph Conrad (1857-1924)

Pernyataan dari salah satu penulis terbaik Britania ini yang barangkali akan sedikit mewakili apa yang terjadi dalam diskusi budaya Selasatra #14 yang bertajuk “sastra dan realita sosial” pada Rabu (15/2/17) malam lalu di warung Boenga Ketjil, Parimono Jombang.

Meskipun memang sulit awalnya bagi pemula seperti saya untuk mencerna apa yang didiskusikan saat itu, beruntunglah karena ketiga narasumber diskusi tersebut (Rakhmat Giryadi, Tjahjono Widarmanto, Nanda Sukmana) adalah sastrawan dan dramawan luarbiasa yang dimiliki Jawa Timur, sehingga nasib kami para pemula, diperhatikan. Diskusi hangat yang diikuti sekitar 20 orang itu membahas tentang bagaimana realitas sosial muncul dalam bentuk ekspresi. Saya baru memahami kekuatan kata-kata dari pembicaraan malam itu, karena para peserta diskusi sebagian besar adalah para seniman dan pelajar yang tertarik pada dunia seni. Beberapa poin yang saya rasa penting akan saya catat disini.

Diawal diskusi mas Yon mengemukakan tiga aliran puisi yang hadir di Indonesia yakni Sapardian (merujuk pada nama Sapardi Joko Darmono) yang memiliki kekuatan pada liriknya,lalu Afrizalian ( merujuk pada puisi-puisi Afrizal Malna ) yang didominasi metafora gelap dan mengusung keterasingan (alienasi) dan aliran Rendra dengan lirik-liriknya yang lugas dan menyuarakan realitas kaum pinggiran. Semua karya sastra pada dasarnya bersinggungan denga realitas sosial. Hanya karena perbedaan gaya, maka realitasnya menjadi bias. Oleh karenanya sastra tak ubahnya seperti taman bunga, ada mawar, tulip, ilalang, bahkan rumput teki.

Ketika berbicara mengenai sastra, Pak Nanda melihatnya sebagai sebuah kerja saintifik (yang estetik), karena menurutnya proses peng-karya-an selalu tidak lepas dari pengamatan terhadap realitas sehingga kerja sastra adalah menciptakan fakta objektif. Hal ini agaknya berlawanan dengan ide bahwa seni adalah kerja ekspresi yang simbolik. Para seniman bekerja memproduksi simbol. Namun, seni walaupun tidak memuat fakta - fakta, sebenarnya juga mengungkapkan kebenaran.

Masalah yang muncul adalah bahwa situasi kesenian saat ini, yang dulunya dipandang sebagai ‘tontonan dan tuntunan’ ataupun keindahan yang berguna, saat ini nilai ‘berguna’ itu telah luntur. Apakah terjadi pemisahan antara pendidikan dan kesenian? Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan karena meskipun ada anggapan bahwa seni bukanlah ilmu pengetahuan, seni tetap tidak bisa meninggalkan logika. Estetika dan pemikiran akan menjadi sebuah ramuan ekspresi.

Kita yang saat ini hidup di era post-modern mungkin lupa pada perdebatan di tahun ‘60an antara kelompok sastra yang menanggung tugas sosial dan sastra pengabdian estetika. Namun, bisa saja perdebatan itu diam-diam masih terjadi sampai saat ini. Karena seperti yang diungkapkan Aristoteles, sastra menjadi jalan menuju kebenaran keempat setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sastra menjadi tugas yang begitu berat dilaksanakan.

Politik pun tak luput dari perbincangan, bahwa karya seni memiliki kekuatan luar biasa yang ketika dibaca secara masif maka akan menciptakan realitas sosial seperti yang diinginkan (tentu saja oleh pihak yang berkepentingan). Inilah mengapa di zaman dahulu, para raja memelihara pujangga di istana. Dan apabila kita jeli, tradisi ini masih dilakukan dan bahkan efektif sampai saat ini.

Ruang ini yang kita butuhkan,seperti yang dikatakan Lek Gir ketika menutup diskusi. Dimana pemikiran-pemikiran estetik bertemu dengan logika realitas, sehingga logika dan estetika akan melahirkan sebuah penafsiran baru. Seperti yang diharapkan, bahwa seni tidak menimbulkan kesimpulan, namun menimbulkan pertanyaan. Lalu apa yang dipertanyakan? Para seniman haruslah melahirkan pertanyaan tentang kebenaran realitas yang ditemui, atau diziarahi.

*) Mahasiswa KPI ( Komunikasi Penyiaran Islam ) Universitas Hasyim Asy’ari Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar