Sabtu, 17 Februari 2018

SelaSastra Boenga Ketjil #11, membaca puisi "Usaha mencintai Hujan"

SelaSastra Boenga Ketjil #11, membaca puisi "Usaha mencintai Hujan" 
karya Rakhmat Giryadi, pembicara Anjrah Lelono Broto, 
moderator Khosol Fairuz, 6 Desember 2016
Membaca Sebuah Usaha
Kilas Baca “Usaha Mencintai Hujan” Karya R. Giryadi
Oleh Anjrah Lelono Broto *)

     Adalah sebuah keberkahan tiada terkira ketika seorang Andhi Setyo Wibowo (CEO Boenga Ketjil) mengontak saya untuk menjadi pengulas buku kumpulan puisi “Usaha Mencintai Hujan” karya R. Giryadi. Keberkahan tersebut tentu saja mengarah pada sang pengarangnya. Bagi insan seni kebudayaan di Jawa Timur, nama R. Giryadi tentu saja bukanlah nama yang asing. Penyair, dramawan, penulis lakon, cerpenis, jurnalis, dan sederet atribut ciamik lainnya melekat pada diri pria kelahiran Blitar yang sekarang bermukim di Sidoarjo dan akrab dengan panggilan “Lik Gir” ini. Sungguh, adalah sebuah keberkahan karena apalah artinya apa yang saya miliki dibandingkan dengan ilmu serta pengalaman beliau yang telah malang melintang di blantika perkesenian-perkebudayaan di Jawa Timur, Indonesia.

Rahmad Giryadi dan Anjrah Lelono Broto

     Keberkahan itu pula yang menuntun saya untuk tahu diri dan tak berani menamakan tulisan ini sebagai ulasan, melainkan sebagai “laporan hasil baca” (meminjam istilah Mas Dosen Anton Wahyudi yang tengah berjihad menjadi ayah dan suami yang bertanggungjawab). Sebagai laporan hasil baca, posisi saya tentu saja adalah salah satu pembaca di antara belantara pembaca dan calon pembaca buku kumpulan puisi “Usaha Mencintai Hujan” karya R. Giryadi ini.
     Demikian pendahuluan ini, semoga dimaklumi siapa saja yang nanti membaca tulisan ini.
     Ilmu alam telah mengajarkan bahwa hujan merupakan peristiwa presipitasi (jatuhnya cairan yang berasal dari atmosfer yang berwujud cair maupun beku ke permukaan bumi) berwujud cairan. Hujan membutuhkan keberadaan lapisan atmosfer tebal supaya dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi. Definisi ini juga mengajarkan bahwa ada sebuah proses yang berharga untuk lahirnya sebuah hujan. Ada sebuah momentum suhu udara tertentu yang tidak serta merta terjadi begitu saja, melainkan dari sebuah pertemuan, bahkan mungkin friksi, yang dapat memicu kelahiran sebuah hujan.
     Membaca atau tidak kelahiran hujan dari perspektif ilmu alam ini, hujan (berikut sekian atributnya seperti mendung, petir, gerimis, dll) telah menjadi unsur primadona dalam kelahiran karya-karya seni di tanah air. Dari kacamata pembacaan saya, hal ini karena kondisi geografis Indonesia yang berada di lintasan garis khatulistiwa sehingga hanya mengenal dua musim; kemarau dan penghujan. Andaikata, Indonesia di wilayah empat musim, besar kemungkinan unsur yang menjadi primadona karya seni di tanah air adalah salju, musim gugur, dll.
     Dalam dunia kepenyairan di tanah air, “Sajak Bulan Juni”nya Sapardi Djoko Damono dan “Arsitektur Hujan”nya Afrizal Malna yang paling kita kenal. Padahal, saya yakin tidak hanya mereka berdua yang menulis puisi tentang hujan, hampir semua penyair di tanah air juga menulis puisi yang berkaitan dan atau menggunakan unsur-unsur hujan dalam karyanya. Gak percaya? Tambah koleksi buku puisi anda! (Jangan sekedar mencari di dunia maya karena itu menghambat kesungguhan anda untuk membeli buku karya sastra!) 
    Dalam kata pengantar buku ini, sang penyair telah menyambaikan latar belakang pemilihan judul dengan diksi “hujan” sebagai objeknya. Selain karena merasa bahwa mayoritas dari puluhan puisi di buku ini bertema hujan, nampaknya sang penyair memang menantang pembaca dan calon pembaca bukunya untuk menemukan kebaruan (dan atau boleh dibilang keberbedaan) dengan tema-tema hujan yang telah disentuh-diangkat sebagai judul dan tema sekian banyak penyair, cerpenis, novelis, komponis. Terutama tafsir hujan yang diketengahkan Sapardi Djoko Damono dalam “Hujan Bulan Juni” dan Afrizal Malna dalam “Arsitektur Hujan”. Ungkapan penyair dalam kata pengantar buku ini seakan merupakan proklamasi dari sang penyair bahwa melalui buku ini dirinya ingin melepaskan diri dari hegemoni tafsir hujan yang telah kaprah diterima oleh publik pegiat dan penikmat sastra di tanah air. (Dari puisi-puisi sampeyan di buku ini, saya yakin sampeyan telah membaca keduanya. Ini pembacaan saya, Lik, tolong nanti diproklamasikan sebenar-benarnya).
     Judul buku ini diambil dari judul puisi ke empat belas dari puluhan puisi dalam buku ini. Sebuah puisi dengan empat bait dan sembilan belas baris, yang baris pertama dan keduanya lantang (dalam pembacaan saya) mengatakan; “Sesungguhnya aku mencintai hujan dengan segala laknat yang menyertai.” Dan di dua baris akhirnya, sang penyair dengan lembut berbisik; “… mengubur kenangan. Aku ingin memelukmu sederas hujan hari ini.” Ketika sang penyair memilih puisi ini sebagai judul buku, tentu telah melewati sekian banyak pertimbangan. Sementara, pemilihan ini tentu menggiring pula opini pembaca dan calon pembacanya tentang sebuah usaha yang dilakukan oleh sang penyair untuk mencintai hujan. Padahal, pembacaan saya hingga baris terakhir puisi ini hanya menemukan bahwa hujan adalah simbolisasi dari suatu kenyamanan yang lama tak dirasakan oleh diri yang sang penyair. Entah kenyamanan tersebut berupa keadaan di mana orang-orang sekelilingnya mau dan mampu memahami kegelisahannya seperti di masa lalu? Ataukah entah kenyamanan itu berupa kedekatan dengan orang yang dicintainya? (Ihir, icik2 ahemmmm. Sepurane, Lik.)
     Tentang puisi-puisi lainnya dalam buku puisi ini yang mayoritas memang bertema hujan, saya tidak akan memantul-mantulkan struktur fisik maupun batinnya dengan puisi yang dipilih sebagai judul. (karena itu akan menghabiskan berlembar-lembar tulisan dan sumpah, Lik, melelahkan). Namun, satu hal yang saya apresiasi adalah kecerdasan sang penyair untuk memilah-memilih judul-judul puisi karyanya untuk dibukukan. Kecerdasan itu menggoyangkan pinggulnya pada pemilihan judul puisi yang memiliki benang merah satu sama lain, baik dari sisi diksi, tipografis, suasana, maupun irama.
     Sebagai penutup, saya senantiasa meyakini bahwa karya sastra merupakan cerminan paling jujur kedirian pengarangnya. Buku kumpulan puisi “Usaha Mencintai Hujan” ini juga jujur menggambarkan kedirian R. Giryadi yang saya kenal, sebagai teaterawan, sebagai penulis naskah, sebagai cerpenis, sebagai jurnalis, dan sebagai orang Blitar yang besar di Surabaya dan bermukim di Sidoarjo. Selamat, atas terbitnya buku ini.
     Semoga pembaca buku ini diberkahi dan menemukan keberbedaan tafsir hujan dari sebelum-sebelumnya.

****

*) Teman CEO Boenga Ketjil, Andhi Setyo Wibowo (Mas Kephix)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar