Rabu, 07 Maret 2018

Geliat Warung Sastra di Kota Santri

(Catatan Diskusi Selasastra#5 di Boenga Ketjil Jombang)
 Aditya Ardi N *

Warung Boenga Ketjil merupakan sebuah Warung milik Andhi Setyo Wibowo yang akrab disapa Kephix, seorang aktor gaek dan Teatrawan Jombang yang sudah malang melintang di dunia Teater Indonesia. Di bidang Seni dan Budaya Cita-citanya sangat mulia, ia Sering menggelar Pentas Keliling (biasanya monolog) ke berbagai kota bersama Rekannya di Komunitas Suket Indonesia, meski tak jarang harus merogoh kocek dalam-dalam sebab harus membiayai sendiri perjalanan kreatifnya. Kephix memang bukan satu-satunya ‘Tentara kebudayaan’ yang ada di negri ini, tetapi untuk wilayah jawa Timur khususnya Jombang, kegilaan dan militansinya tak perlu diragukan lagi.

Tak puas dengan hanya berteater, melalui Warung Boenga Ketjil-nya, sebulan sekali Khepix rutin menggelar diskusi Sastra bertajuk SelaSastra yang diikhtiarkan untuk menyemai tradisi literasi dan geliat sastra di kota Jombang yang “hidup segan maunya mati saja!.” Berangkat dari kegelisahan itulah barangkali kephix kemudian berhasrat untuk menggandeng teman-teman penulis baik dari Jombang dan luar kota untuk memanifestasikan Syahwat kreatifnya dalam rupa bincang buku dan pentas sastra seperti pembacaan - musikalisasi puisi, teatrilkalisasi cerpen hingga monolog.

Pada kesempatan SelaSastra#5 rabu malam pukul 19.30 Wib, 25 Mei 2016 membincang buku “Mengenang Kota Hilang” karya R.Giryadi di pandu Oleh Zen S Pimred majalah tebuireng dan Pengulasnya Agus Sulton, kodikolog dan Akademisi sastra jebolan Unair. Diskusi berlangsung gayeng, suasana santai penuh keakraban begitu terasa. Meski sudah barang tentu dalam sebuah diskusi, dalam tradisi keilmuan, lawan debat adalah kawan berpikir yang baik. Ada beberapa gagasan yang kemudian merangsek dalam diskusi setelah pembicara selesai menyampaikan makalahnya. Kumcer Mengenang Kota Hilang, diilhami oleh realitas tengik yang sering kita jumpai. Keterpinggiran kaum urban di kota besar, kejahatan sistemik, potret Kemiskinan, penindasan, penggusuran, PHK, derap modernisasi yang menggiring manusia pada dehumanisasi. Teknologi yang menyulap manusia menjadi digit angka. Dan seabrek persoalan yang silang-sengkarut di negri ini.

Dari tema besar yang disorongkan dalam kumcer Mengenang Kota Hilang secara tak langsung mengingatkan saya pada gerakan kebudayaan di Rusia yang dibidani Andrei Zdanov, Georg Lukacs, dan Gorky awal abad 20-an. Dengan Jargon ”The People Must know their history” yang sangat terkenal itu. Pada dasarnya aliran ini berpijak dari suatu sikap penolakan terhadap sastra (dan seni pada umumnya) borjuis. Sastra borjuis banyak dicirikan oleh kecenderungan mendewakan hal-hal yang bersifat teknis dan formal, yang dituduh para penganut realisme sosialis sebagai pencideraan terhadap publik sastra, karena berusaha menjauhkan sastrawan dan peminat sastra dari realitas sesungguhnya. Pendek kata sastra borjuis lebih peduli “bentuk” dari pada “isi”. Sementara dipihak lain realisme sosialis mengklaim mencoba mengangkat kenyataan dialektik ke dalam isi sastra. Sastra harus merupakan representasi kondisi objektif masyarakat yang tertindas oleh sistem kapitalis yang menindas.

Selanjutnya soal ide, gaya romantik sebenarnya lebih dominan di dalam genre sastra yang satu ini, hal ini bisa dipahami, bahwa gaya romantik memilliki kekuatan besar sebagai propaganda ideologi, hanya deskripsi yang kuat dan mendetail saja yang menunjukkan realism sosialis sebagai sastra realis; selain klaim sebagai sastra yang merepresentasikan masyarakat yang teralienasi oleh kapitalisme. Dalam perkembangannya, realisme sosialis tidak hanya subur di rusia saja, ia mewabah, dan berpengaruh di beberapa Negara, seperti beberapa nama sastrawan dunia yang revolusioner macam Gabriel G Marquez, John Steinbeck dari USA, Jean paul Sartre, Lhu Shun dari Cina.

Terlepas dari konten diskusi, saya menggaris bawahi bahwa upaya untuk mendekatkan Sastra kepada masyarakat merupakan hal yang penting untuk digagas. Salah satunya melalui diskusi sastra yang intens. Geliat sastra semacam ini saya kira, apabila rutin digelar secara tak langsung akan mengedukasi masyarakat. Dan sekali lagi tidak penting menuntut pun menyalahkan pihak-pihak lain. Semua bisa dimulai dari diri sendiri. Menjadi besar harus dimulai dari hal kecil. Saya sangat berharap kegiatan diskusi sastra ini akan berkelanjutan sehingga proses bertukar-tangkap gagasan antara penulis, seniman, dan publik seni memiliki ruang pembiakan pemikiran. Salam kreatif dari Warung sastra di kota santri. Tabik

Waroeng Boenga Ketjil, Jombang 25 Mei 2016

*) Aditya Ardi N, Penyair, lahir di Ngoro - Jombang, Jawa Timur 7 Januari 1987. Puisinya tersebar di beberapa Penerbitan bersama: Sebelum Surga Terbakar (2008), Antologi Penyair 5 Kota (2010) Puisi Sumpah Pemuda (2014), Negeri Abal-Abal (2015) dsb. Buku antologi puisi tunggalnya Mobilisasi Warung Kopi (2011). Membaca Kartini (2016) Beberapa karya puisi dan esai dimuat di mediaonline/cetak lokal maupun nasional dan beberapa jurnal kebudayaan. saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku Puisi Epik terbarunya yang masih dalam proses. Memenangkan Green Literary Award (Jakarta, 2015) kini tinggal dan berkarya di  Dusun Gresikan RT 02/RW 02, Desa Ngoro, Kec Ngoro, Kab Jombang Jawa Timur 61473.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar