Minggu, 25 Februari 2018

Usaha Mencintai Hujan; Usaha Mencintaimu

Khoshshol Fairuz *

“Sungguh aku mencintaimu hujan, meski kemarau tlah mengubur kenangan, aku ingin memelukmu sederas hujan hari ini.” Satu paragraf dari saduran puisi dengan judul yang sama mengawali buku sekumpulan 95 puisi R. Giryadi ini menggambarkan seluruh isinya, seolah penyair ini ingin mengatakan, hujan adalah hidupku. Tapi dicekal makna dan mengalami penyempitan, maka cukuplah Usaha (untuk) Mencintai Hujan.

Puisi-puisinya banyak bernuansa kritik sosial (tikungan, orang asing, bukan negeri dongeng, jakarta, dll), tentang kedalaman kontemplasi (judul yang mengandung kata ‘hujan’), kesadaran literasi (buku, di perpustakaan), kesederhanaan (kalangan—bandar), cinta (surat penyair dan balasannya, sajak bisu buat ibu). Dll.

Dominasi ‘hujan’ sebagai acuan judul buku ini mengandung makna implisit yang sangat kuat dan perenungan yang dalam, ini ditandai dengan puisi dengan judul yang sama:

Usaha Mencintai Hujan

Sesungguhnya aku mencintai hujan dengan segala laknat yang menyerta...Lalu tubuh pun lumer oleh ingatan tentang kota yang tiba-tiba pergi entah kemana
Atau tentang dirimu yang hilang pada rimba hujan...Aku mencintaimu meski kemarau begitu panjang membakar ilalang yang bertumbuhan di tubuhku. Aku mencoba menyemai gerimis, meski di mataku geluduk memusnahkan keceriaan masa lalu.

Usaha nyata mencintai adalah penerimaan segala konsekuensi, meskipun yang dicintainya hanya ingatan, atau tanpa bekas. Tentang ada tidaknya sesuatu untuk dicintai, terlepas dari alpa dan hadirnya, bagi R Giryadi cinta adalah totalitas penyerahan hati tanpa ekspektasi kembali.

Seperti pada umumnya penyair Jawa, dalam buku ini R. Giryadi sesekali menunjukkan ke-Jawa-annya lewat pemilihan diksi-diksi berbahasa Jawa, semisal geluduk (hujan pagi ini 2), kalis (laut). Bahkan ia menyisipkan kosa kata asli jawa yang tidak ditemukan dalam KBBI, seperti medingkrang (kalangan), ngithit (bandar), mblobor (kata-kata hujan), disubya-subya (surat penyair), nonggeret (kemarau bulan juni). Seolah ada makna yang gagal disampaikan melalui puisi jika mengadopsi kosakata dalam bahasa Indonesia, memutuskan menggunakan kosakata jawa merupakan penguatan makna dan identitas diri.

Beberapa kali kita akan menemukan puisi dengan nuansa agraria, seperti dalam Hujan Kenangan yang bertitimangsa di Sumenep, Madura, penulis mencatut pohon gayam. Gayam yang berasal dari kata “ga” atau gayuh (mencari), sedangkan potongan kata “yam” yakni simbolisasi dari kata ayem (tenang). Mungkin sangat tidak familiar bagi kita orang-orang modern mengingat sangat jarangnya pemanfaatan buahnya yang harus melalui proses sebelum dimakan, akan tetapi memliki makna filosofis yang kuat, selain gayam ada trembesi dan perdu yang ditulis juga.

Sedikitnya tiga buah puisi yang bercerita lautan, menimbulkan tanya yang kuat, penulis menyukai hujan tapi tidak menuliskan banyak tentang laut dan pantai-pantainya. Padahal secara geografis daerah kelahiran R. Giryadi, Blitar, memiliki pantai eksotis, pun secara ilmiah hujan tidak akan ada tanpa proses penguapan laut. Terjadi kerumpangan, atau mungkin penulis hanya menyampaikan pesan lewat hujan saja, sebab keadilan puisi bisa jadi hanya terletak pada kefokusan obyek tunggal untuk dicintai. Tidak dicantumkannya nama Umbul Waaru, Serang, Pangi, dsb sebagai salah satu ciri khas Blitar menunjukkan bahwa penyair mencintai lautan lebih luas daripada samuderanya, dengan cinta yang entah. Ketidakikutsertaan tokoh nomor satu Indonesia juga memancing tanya, kemana sebenarnya arah puisi putra Blitar ini?

Penjelasan selanjutnya kita berada dalam kondisi spekulatif soal sejauh mana kadar licencia poetica dari seorang R. Giryadi. Pertama, ada dua judul puisi yang sama, bait awal hingga tengah sama, namun memiliki ending yang berbeda. Dua puisi itu adalah; Dongeng Pohon. Keduanya sama persis, yang membedakan adalah bait akhir dan dua gambar ember yang letaknya berbeda (ember-ember ini akan dibahas selanjutnya). Lazimnya ada aturan setiap puisi itu tercipta, akan tetapi penyair boleh melabrak kaidah bahasa selama masih menimbulkan estetika tersendiri, hal ini kemudian yang populer dengan nama licencia poetica atau legitimasi kebebasan khusus dari dunia sastra untuk para penyair. Juga, interpretasi yang bervariasi membuat puisi bersifat kontemporer, berbagai asumsi justru membuat puisi menemukan jiwanya sendiri.

Menarik ketika kita lirik desain simple dari buku Usaha Mencintai Hujan ini, ketika membuka halaman demi halaman kita akan menjumpai ada ember dengan berbagai ukuran dan posisi penempatannya, ada beberapa namun tidak semua puisi ‘diberi’ ember. Kalau tanpa tujuan dan memiliki nilai estetika tersendiri, untuk mengisi ruang kosong tanpa bait puisi kah? Mari kita petakan dari awal; hujan hanya membawa tetes, dan tetesan itu biasa tertampung dalam ember. Hujan adalah sesuatu yang disampaikan penulis, dan ember adalah ekspektasi penulis supaya pembaca bersikap bijak seperti penempatan dan jumlah ember.

Ember pertama kecil, diikuti potongan puisi Usaha Mencintai Hujan; ember kedua besar, penulis berharap dengan kemampuan pembaca yang kecil bisa menampung manfaat dan cinta yang besar; ember ketiga Pada Suatu Hari menengadah ke atas, memiliki filosofi penerimaan yang luas; ember pada puisi Bandar, kecil dan terletak di pinggir, supaya mengesampingkan nasib dan mendahulukan usaha; Pelayaran Perahu Kecil diakhiri tiga ember yang bila ditelisik akan menggambarkan betapa perlunya kita lebih dari satu ember untuk menampung perjalanan hujan kehidupan; Homo Corruptikus adalah spesies baru sejarah manusia, memiliki 3 ember yang menghadap samping seolah enggan menerima tetes praktik KKN dan usaha membuangnya; satu ember menyerong diagonal pada puisi Dongeng Pohon bermakna pilihan; begitu seterusnya hingga dituntaskan oleh ember berisi bunga mekar hasil cintanya kepada hujan: Sajak Bisu Buat Ibu.

Upaya R. Giryadi memposisikan puisi-puisinya juga terbilang ngestetika; kumpulan puisi dengan dasar kata ‘hujan’ menjadi skenario panjang yang disusun dengan teka-teki cinta. Begitu juga dengan 11 kemarau sengaja ditulis tak berurutan, dimulai dari Kemarau (16), (15), dst. Dalam puisi kemarau itu ditulis dengan menghitung mundur; ada upaya pengembalian ingatan dan memori saat musim kerontang. Rupanya penulis tak berhenti sampai sana, ada sekumpulan puisi dengan judul yang sama dan hanya dibedakan oleh angka saja; Retorika Hujan 13, 6, 4, 2 ,ini akan menjadi masalah ketika kita berbicara matematika, akan tetapi penulis mampu mengkotak-kotakkan kepala kita untuk mencari keindahan dan maknanya, dalam retorika hujan hanya ada satu angka yang bukan bilangan genap yaitu 13, penulis ingin menyempurnakan keganjilan dalam kehidupan dengan membiarkan 6, 4, 2 menggenapi sisi-sisi yang rumpang.

Pada akhirnya Usaha Mencintai Hujan telah sampai kepada Sajak Bisu Buat Ibu, sekumpulan puisi tentang ingatan dan kegundahan hati mencapai ember yang disediakan oleh ibu penyair. Penutupan rasa dari R. Giryadi dari usaha mencintai hujan yang memuarakan cinta kepada ibunya:

Ibu.
Ijinkan aku menjadi batu ... aku hanya bisa jadi batu, ibu
Dari musim ke musim di kota ini, walau irama dongengmu selalu menghantuiku setiap malam.
Lik Gir, selamat! Hujan yang engkau cinta, tlah tuntas menggenangi dada.
***

*) Murid CEO Boenga Ketjil, Andhi Setyo Wibowo (Andhi Kephix).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar