“Sungguh aku mencintaimu hujan, meski kemarau tlah
mengubur kenangan, aku ingin memelukmu sederas hujan hari ini.” Satu
paragraf dari saduran puisi dengan judul yang sama mengawali buku sekumpulan 95
puisi R. Giryadi ini menggambarkan seluruh isinya, seolah penyair ini ingin
mengatakan, hujan adalah hidupku. Tapi dicekal makna dan mengalami penyempitan,
maka cukuplah Usaha (untuk) Mencintai Hujan.
Puisi-puisinya
banyak bernuansa kritik sosial (tikungan, orang asing, bukan negeri dongeng,
jakarta, dll), tentang kedalaman kontemplasi (judul yang mengandung kata ‘hujan’),
kesadaran literasi (buku, di perpustakaan), kesederhanaan (kalangan—bandar),
cinta (surat penyair dan balasannya, sajak bisu buat ibu). Dll.
Dominasi
‘hujan’ sebagai acuan judul buku ini mengandung makna implisit yang sangat kuat
dan perenungan yang dalam, ini ditandai dengan puisi dengan judul yang sama:
Usaha
Mencintai Hujan
Sesungguhnya aku mencintai hujan dengan segala
laknat yang menyerta...Lalu tubuh pun lumer oleh ingatan tentang kota yang
tiba-tiba pergi entah kemana
Atau tentang dirimu yang hilang pada rimba
hujan...Aku mencintaimu meski kemarau begitu panjang membakar ilalang yang
bertumbuhan di tubuhku. Aku mencoba menyemai gerimis, meski di mataku geluduk
memusnahkan keceriaan masa lalu.
Usaha
nyata mencintai adalah penerimaan segala konsekuensi, meskipun yang dicintainya
hanya ingatan, atau tanpa bekas. Tentang ada tidaknya sesuatu untuk dicintai,
terlepas dari alpa dan hadirnya, bagi R Giryadi cinta adalah totalitas
penyerahan hati tanpa ekspektasi kembali.
Seperti
pada umumnya penyair Jawa, dalam buku ini R. Giryadi sesekali menunjukkan
ke-Jawa-annya lewat pemilihan diksi-diksi berbahasa Jawa, semisal geluduk (hujan
pagi ini 2), kalis (laut). Bahkan ia menyisipkan kosa kata asli jawa
yang tidak ditemukan dalam KBBI, seperti medingkrang (kalangan),
ngithit (bandar), mblobor (kata-kata hujan), disubya-subya (surat
penyair), nonggeret (kemarau bulan juni). Seolah ada makna yang
gagal disampaikan melalui puisi jika mengadopsi kosakata dalam bahasa
Indonesia, memutuskan menggunakan kosakata jawa merupakan penguatan makna dan
identitas diri.
Beberapa
kali kita akan menemukan puisi dengan nuansa agraria, seperti dalam Hujan
Kenangan yang bertitimangsa di Sumenep, Madura, penulis mencatut pohon gayam.
Gayam yang berasal dari kata “ga” atau gayuh (mencari), sedangkan potongan kata
“yam” yakni simbolisasi dari kata ayem (tenang). Mungkin sangat tidak familiar
bagi kita orang-orang modern mengingat sangat jarangnya pemanfaatan buahnya
yang harus melalui proses sebelum dimakan, akan tetapi memliki makna filosofis
yang kuat, selain gayam ada trembesi dan perdu yang ditulis juga.
Sedikitnya
tiga buah puisi yang bercerita lautan, menimbulkan tanya yang kuat, penulis
menyukai hujan tapi tidak menuliskan banyak tentang laut dan pantai-pantainya.
Padahal secara geografis daerah kelahiran R. Giryadi, Blitar, memiliki pantai
eksotis, pun secara ilmiah hujan tidak akan ada tanpa proses penguapan laut.
Terjadi kerumpangan, atau mungkin penulis hanya menyampaikan pesan lewat hujan
saja, sebab keadilan puisi bisa jadi hanya terletak pada kefokusan obyek
tunggal untuk dicintai. Tidak dicantumkannya nama Umbul Waaru, Serang, Pangi,
dsb sebagai salah satu ciri khas Blitar menunjukkan bahwa penyair mencintai
lautan lebih luas daripada samuderanya, dengan cinta yang entah.
Ketidakikutsertaan tokoh nomor satu Indonesia juga memancing tanya, kemana
sebenarnya arah puisi putra Blitar ini?
Penjelasan
selanjutnya kita berada dalam kondisi spekulatif soal sejauh mana kadar licencia
poetica dari seorang R. Giryadi. Pertama, ada dua judul puisi yang sama,
bait awal hingga tengah sama, namun memiliki ending yang berbeda. Dua puisi itu
adalah; Dongeng Pohon. Keduanya sama persis, yang membedakan adalah bait akhir
dan dua gambar ember yang letaknya berbeda (ember-ember ini akan dibahas
selanjutnya). Lazimnya ada aturan setiap puisi itu tercipta, akan tetapi
penyair boleh melabrak kaidah bahasa selama masih menimbulkan estetika
tersendiri, hal ini kemudian yang populer dengan nama licencia poetica
atau legitimasi kebebasan khusus dari dunia sastra untuk para penyair. Juga,
interpretasi yang bervariasi membuat puisi bersifat kontemporer, berbagai
asumsi justru membuat puisi menemukan jiwanya sendiri.
Menarik
ketika kita lirik desain simple dari buku Usaha Mencintai Hujan ini, ketika
membuka halaman demi halaman kita akan menjumpai ada ember dengan berbagai
ukuran dan posisi penempatannya, ada beberapa namun tidak semua puisi ‘diberi’
ember. Kalau tanpa tujuan dan memiliki nilai estetika tersendiri, untuk mengisi
ruang kosong tanpa bait puisi kah? Mari kita petakan dari awal; hujan hanya
membawa tetes, dan tetesan itu biasa tertampung dalam ember. Hujan adalah
sesuatu yang disampaikan penulis, dan ember adalah ekspektasi penulis supaya
pembaca bersikap bijak seperti penempatan dan jumlah ember.
Ember
pertama kecil, diikuti potongan puisi Usaha Mencintai Hujan; ember kedua
besar, penulis berharap dengan kemampuan pembaca yang kecil bisa menampung
manfaat dan cinta yang besar; ember ketiga Pada Suatu Hari menengadah ke
atas, memiliki filosofi penerimaan yang luas; ember pada puisi Bandar, kecil
dan terletak di pinggir, supaya mengesampingkan nasib dan mendahulukan usaha; Pelayaran
Perahu Kecil diakhiri tiga ember yang bila ditelisik akan menggambarkan
betapa perlunya kita lebih dari satu ember untuk menampung perjalanan hujan
kehidupan; Homo Corruptikus adalah spesies baru sejarah manusia,
memiliki 3 ember yang menghadap samping seolah enggan menerima tetes praktik
KKN dan usaha membuangnya; satu ember menyerong diagonal pada puisi Dongeng
Pohon bermakna pilihan; begitu seterusnya hingga dituntaskan oleh ember
berisi bunga mekar hasil cintanya kepada hujan: Sajak Bisu Buat Ibu.
Upaya
R. Giryadi memposisikan puisi-puisinya juga terbilang ngestetika; kumpulan
puisi dengan dasar kata ‘hujan’ menjadi skenario panjang yang disusun dengan
teka-teki cinta. Begitu juga dengan 11 kemarau sengaja ditulis tak
berurutan, dimulai dari Kemarau (16), (15), dst. Dalam puisi kemarau itu
ditulis dengan menghitung mundur; ada upaya pengembalian ingatan dan memori
saat musim kerontang. Rupanya penulis tak berhenti sampai sana, ada sekumpulan
puisi dengan judul yang sama dan hanya dibedakan oleh angka saja; Retorika
Hujan 13, 6, 4, 2 ,ini akan menjadi masalah ketika kita berbicara
matematika, akan tetapi penulis mampu mengkotak-kotakkan kepala kita untuk
mencari keindahan dan maknanya, dalam retorika hujan hanya ada satu
angka yang bukan bilangan genap yaitu 13, penulis ingin menyempurnakan
keganjilan dalam kehidupan dengan membiarkan 6, 4, 2 menggenapi sisi-sisi yang
rumpang.
Pada
akhirnya Usaha Mencintai Hujan telah sampai kepada Sajak Bisu Buat
Ibu, sekumpulan puisi tentang ingatan dan kegundahan hati mencapai ember yang
disediakan oleh ibu penyair. Penutupan rasa dari R. Giryadi dari usaha
mencintai hujan yang memuarakan cinta kepada ibunya:
Ibu.
Ijinkan aku menjadi batu ... aku hanya bisa jadi
batu, ibu
Lik
Gir, selamat! Hujan yang engkau cinta, tlah tuntas menggenangi dada.
***
*) Murid
CEO Boenga Ketjil, Andhi Setyo Wibowo (Andhi Kephix).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar