Perjalanan
seorang pengarang adalah perjalanan spiritual. Begitulah kiranya setiap
perjalanan akan membawa efek kontemplatif yang begitu mengejutkan. Itulah
kenapa saya selalu menyukai sebuah perjalanan. Sebagai wujud terimakasih saya
pada sebuah perjalanan yang semakin mematangkan pola pikir, catatan perjalanan
kerap hadir menyertai. Begitu juga tulisan ini yang hadir untuk
mencatat-rekamkan ruang, waktu, dan peristiwa dari perjalanan (atau saat ini
saya sedang gandrung menyebut dinas luar).
Selasa, 29 Maret 2016, saya sedang dinas luar. Hari itu, ada dua tugas negara yang harus dituntaskan. Pertama, menjadi juri bercerita. Kedua, bedah buku saya Meja Nomor 8. Namun catatan ini, khusus saya tulis untuk tugas negara yang kedua dan tentunya nanti pada catatan lain tugas negara pertama akan dilaporkan.
Sore
itu, ketika saya berangkat menuju Boenga Ketjil (selanjutnya disebut BK)
milik aktor teater kawakan Andhi Setyo Wibowo atawa yang lebih populer dengan
nama Kephix, hujan sedang manja: rintik-rintik. Duh, betapa
indahnya perjalanan saya bila ditemani dengan perempuan cantik yang menawan
hati ini. Aih, tapi sayangnya kala itu saya harus menempuh perjalanan ke
Jombang sendirian, tanpa kekasih juga tanpa kawan. Namun, ada atau tiada teman
seperjalanan itu tiada merisaukan, sebab kerap saya melakukan perjalanan
seorang diri.
Sesampai
di BK, saya sedikit terkejut karena sudah banyak orang. Sembari memarkir motor
butut kesayangan di samping empat motor lainnya, saya mulai melirik satu
persatu para pengunjung. Busyet, banyak sekali para perempuan di sana
dan di meja belakangnya, tentu sudah tak asing lagi yaitu Gus Binhad Nurrohmat
(yang kehadirannya sudah saya ketahui sedari jauh karena adanya X-Over di
depan BK) dan seorang lagi, yang baru kutahui setelahnya, Zen Sugendal. Kata
Gus Bin, si penyair yang baik hati itu, ia redaktur Majalah di Tebu Ireng.
Mantap nian. Dan ia nanti yang akan memandu jalannya bedah buku Meja Nomor
8.
Papan
menu di BK menyuguhkan SelaSastra #3 sebagai menu spesial pada malam itu. Ya,
khusus malam itu. Saya memesan kopi pahit kepada Cak Kephix (dan maafkan saya
Cak Kephix urung memesan nasi goreng karena perut saya kenyang. Tadi panitia
lomba sebelum pulang menyodorkan sekotak nasi. Mohon ampuni saya atas janji
mentraktir pembicara yang ternyata juga tidak terpenuhi). Lalu sembari menunggu
kopi disuguhkan, saya ngobrol dengan Gus Bin dan dikenalkan kepada Zen.
Perbincangan dengan kawan sesama penulis, selalu mengasyikkan. Saking asyiknya
obrolan acara sedikit molor. Pukul 20.10 wib, acara baru dibuka oleh Zen.
Lampu-lampu
dimatikan hanya lampu sorot untuk menerangi Cak Kephik membaca yang menyala.
Juga cahaya laptop dari mbak-mbak cantik yang tidak saya tahu namanya. Sesi
pertama saya dipersilakan terlebih dahulu. Seperti jamaknya pada bedah buku, Zen
meminta saya bercerita ikhwal terbitnya Meja Nomor 8. Mengenai hal itu,
saya memaparkan tiga poin, bila secara singkat maka terdiri dari: pertama, saya
menyampaikan ulang pengantar dalam buku. Saya memberi penekanan maksud
dari buku itu. Makanya, ketika tiga orang menulis tentang buku itu nyaris sama
(Dadang Ari Murtono, Andhi Setyo Wibowo, dan Binhad Nurrohmat yang tulisannya
dijadikan topik bedah buku). Saya tidak kaget ataupun jengkel membaca ulasan
itu. Sebab buku itu, jika dibaca penulis atau pembaca kritis pasti akan
direspon seperti mereka atau saya menyebutnya untuk di-bully. Lantas
untuk siapa buku itu? Jawabannya pada poin kedua.
Poin
kedua, alasan
buku ini terbit yaitu janji. Janji kepada kawan perupa yang telah membuat
sketsa: Eko Prawiro atawa Eko Nono. Dan ketiga buku ini untuk pembaca
agar tahu proses kreatif penulisan saya. Makanya jika dibaca penulis atau
pembaca kritis, pasti tidak akan memuaskan. Namun bagi mereka yang hendak
belajar menulis, akan lain cerita. Mereka akan memahami bahwa proses adalah
penentu dari hasil.
Setelah
itu, Zen meminta Gus Bin memaparkan materinya. Salah satunya tentang pembaca
yang kurang ajar dan juga merespon alasan saya. Katanya alasan saya itu tidak nyastra.
Tidak hanya Gus Bin, Cak Kephix juga tidak percaya akan karya saya itu: masak
sekelas Akhmad Fatoni yang notabene seorang yang faham teori kesusastraan dan
baru lulus S2 kajian sastra menulis seperti ini.
Robin
Al Kautsar, salah satu sastrawan kawakan Jombang, pendapatnya menciptakan arus
dari arah berbeda dengan materi diskusi dari Binhad Nurrohmat. Namun lain
halnya pendapat Pak Robbin Al Kautsar. Ia memiliki pendapat lain, bahwa dunia
kreatif tidak ada kaitannya dengan teori: Fatoni mungkin akan lebih jeli dan
tajam dalam kritik sastra. Sebab sejatinya di situlah relevansi teori dan dunia
akademisnya. Ia juga memberi contoh seorang penyair dan juga dosen, kawan kita
Suyitno Ethex. Tentu teman-teman tahu bagaimana karyanya.
Ya,
begitulah diskusi itu berjalan. Gayeng dan khidmat. Tentu yang lebih menarik
yaitu pembukaannya tadi Cak Kephix membacakan nukilan Jalan Tak Berujung. Sihir
Cak Kephix yang seorang aktor kawakan mampu menyedot perhatian para perempuan.
Mereka serius menyimak dan ada yang memotret. Syahdu sekali.
Tentu
selain itu semua, BK selain menyediakan ruang diskusi SelaSastra, yang kali itu
sudah ketiga, juga menyuguhkan polo pendem pada pengunjung yang hadir. Saking
kagetnya para perempuan pas disodori polo pendem langsung memasang
wajah kaget, sebab mereka tidak memesan. Cak Kephix dengan kepekaannya
menjawab: acara dimulai hidangan pun disuguhkan. Mereka pun tersenyum.
Dan pasti, jika mereka berteman dengan akun FB Cak Kephix, bila SelaSastra ke-4
pasti akan menyempatkan hadir.
Pembacaan
Cak Kephix yang mampu menyihir semua orang di BK. Tentu, jika Anda ingin
mengundang pembaca cerpen terbaik, jangan segan mengundang beliau. Begitulah,
SelaSastra saat ini menjadi alternatif ruang setelah Geladhak Sastra makin
surut. Tentunya, Jombang akan kembali bergeliat melalui BK dengan SelaSastra seperti
halnya Mojokerto dengan Terminal Sastra. Semoga.
31
Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar