Minggu, 25 Februari 2018

FOLKLOR, SEJARAH LISAN, DAN REKONSTRUKSI SEJARAH *

Dian Sukarno **

Bismillah alhamdulillah saya mendapat undangan istimewa untuk bertemu anak-anak muda yang melampaui zamannya. Saya katakan demikian, karena kebesaran Nusantara telah memanggil anak-anaknya untuk menampakkan wujud aslinya sebagai mercusuar dunia.  Penduduk surgawi sebagaimana dikatakan oleh Syech Ahmad Saltut, seorang ulama Mesir yang berkunjung di era Presiden Soekarno, yang memapar dalam ungkapan penuh takjub; Indonesia adalah sekeping tanah surga yang diturunkan Tuhan ke dunia. Celetuk kekaguman itu bukanlah tanpa alasan, mengingat hamparan bumi, luasan langit, bentangan peristiwa, hingga plasmanutfah atau kekayaan alamnya menjadi yang terpenting bagi kelangsungan seluruh makhluk di permukaan bumi. Maka, tidak  mengherankan jika Nusantara menjadi ajang perseteruan abadi para perompak berbaju modern, mulai bangsa Eropa, Amerika, hingga jazirah padang savana Mongol yang menginginkan Nusantara tunduk di hadapan duli tuannya.

Upaya-upaya pengerdilan berlangsung sangat lama dan mendarah daging, hingga kepercayaan diri menjadi titik nadir dan cenderung melupakan kebesaran pencapaian luhur nenek moyang, embah buyut, dan para winasis/ cerdik pandai. Generasi muda, para wanita, dan anak-anak disasar dengan logika-logika metodologi penulisan sejarah barat yang cenderung seenak udel menyisipkan kajian ala sudut pandang mereka. Dan anehnya diamini secara beramai-ramai oleh “kaum cendekia” dengan fanatisme mazhab keilmuannya. Sehingga…bangsa Nusantara dianggap jahiliyah, karena menganut animisme dan dinamisme. Semprul bin gendheng! Sedangkan aslinya adalah kepercayaan kapitayan yang mengejawantah dalam keyakinan Tuhan Yang Maha Tunggal.

Keyakinan kapitayan tidak terlepas dari pemahaman Ketuhanan yang dibawa para Nabi. Dan semakin banyak fakta ditemukan, kian membuktikan bahwa Kapitayan ternyata bersimbiosis dengan pemahaman Islam ala Nusantara telah ada ribuan tahun yang silam. Sejak era agama samawi yang dibawa abul anbiya Kanjeng Nabi Ibrahim. Paparan data yang selama ini kita kenal berupa bukti nisan dan jirat atau kijing dalam bahasa Jawa pada makam kuna di Leran, perbatasan antara Lamongan dan Gresik, sebenarnya adalah bukti arkeologis masa sesudahnya, atau lebih muda dari sejumlah temuan yang akan membuat kita tercengang. Ketercengangan itu semoga menjadi awal yang indah, karena kita tersadar sebenarnya para pendahulu atau nenek moyang Nusantara adalah penganut Islam yang dibawa Kanjeng Nabi Ibrahim atau lebih dikenal dengan millatu Ibrahim. Dan bukan Hindu – Budha yang didengung-dengungkan para sejarawan Barat. Kesaksian bahwa religi yang berkembang di Nusantara adalah agama Abraham, Ibrahim atau millatu Ibrahim, terdapat dalam catatan Fa Xian atau Fa Shien usai melakukan muhibah/ perjalanan dari India  sekitar tahun ketujuh pemerintahan Kaisar Xiyi (411 M).   Sebagai ulama senior di China ketika itu, Fa Xian mengaku singgah di Yapoti (Jawa dan atau Sumatera) dan tinggal selama lima bulan. Dalam kesaksiannya Fa Xian menguraikan;

Kami tiba di sebuah negeri bernama Yapoti (Jawa atau Sumatera). Di negeri itu, agama Abraham sangat berkembang, sedangkan Buddha tidak seberapa pengaruhnya. Bukti-bukti keculasan penjajah yang dibarengi dengan politik kristenisasi kerajaan protestan Belanda dan kerajaan protestan anglikan Inggeris dapat kita saksikan pada sejumlah tempat di tanah air. Salah satu contoh pembangunan benteng kota yang dibangun Belanda di Bangkalan, dengan maksut untuk menghambat dakwah dan syi’ar Islam yang berkembang pesat di pulau garam Madura. Kekuasaan para raja dan sultan dibatasi dan sebagai gantinya dibentuklah kadipaten (regen) Pamekasan pada tahun 1558 M dan kadipaten (regen) Sumenep dalam tahun 1885 M. Itu yang dilakukan Belanda di Madura, pada bagian lain Inggeris tak kalah licik. Melalui Letnan Gubernur Jenderal Sir Stamfort Rafles yang sangat tertarik dengan sejarah timur, membawa bukti-bukti naskah kuna, artefak, dan benda-benda arkeologis ke negerinya. Kemudian dengan kebanggaan yang semu mempopulerkan buku “The History of Java” sebagai buah karyanya. Padahal fakta sebenarnya buku itu karya salah satu bangsawan Madura bernama Sultan Abdurahman Pakunataningrat. Atas jasa Sultan Abdurahman yang menguasai bahasa Sansekerta, Kawi, Arab, Inggeris, dan Belanda, akhirnya pemerintah Kerajaan Inggeris memberi gelar Doctor Honoris Causa bidang kesusasteraan kepada Sultan Abdurahman Pakunataningrat. Menurut Taufiqurahman, pengurus yayasan Asta Tinggi, Sumenep, yang disampaikan kepada Tony Abdullah reporter radio Suara Muslim Surabaya, bahwa Gubernur Jenderal Rafles sebenarnya hanya editor buku “The History of Java” yang sangat fenomenal itu.

A…sudahlah! Sadar atau tidak generasi kekinian telah digiring dalam kubangan interregnum, artinya nilai lama sudah ditinggalkan dan nilai baru belum ditemukan wujudnya. Apalagi pikiran dan konsep hidup, sudut pandang keilmuan bangsa Nusantara telah diberangus lewat perampokan khasanah pustaka oleh penjajah barat, dalam hal ini Belanda dan Inggeris. Bahwa sekitar 200 ribu naskah kuna kita sebagai bukti peradaban Nusantara yang agung, hingga saat ini masih bertengger di perpustakaan negeri Belanda. Sedangkan 35 kontainer naskah Kesultanan Yogyakarta dan Nusantara berada di perpustakaan Inggeris. Untuk memperoleh kembali naskah-naskah karya besar nenek moyang tersebut begitu sulitnya. Apalagi ghira anak bangsa untuk mempelajari sejarah begitu lemah, itu masih ditambah budaya baca masyarakat yang jauh dibawah ambang kelayakan.

Tarik ulur menyangkut klaim kebenaran dan pembenaran sejarah Nusantara, sudah saatnya untuk dibedah, dikuliti dengan sudut pandang pewaris gen Nusantara. Sehingga diperoleh sudut pandang pembanding yang sangat mungkin menjadi aliran mengembalikan ghirah keagungan peradaban Nusantara. Dengan satu catatan, bahwa kita harus berani memulai untuk membaca sejarah sendiri dan tidak serta merta mengamini sudut pandang barat. Apalagi menyangkut inventarisasi folklor sebagai bagian kekayaan nenek moyang. Sebagaimana yang disampaikan oleh Analess, bahwa legenda adalah pintu masuk penceritaan sejarah, minimal sejarah sosial. Karena banyak data yang sering ditemui di luar data prasasti yang menjadi acuan pokok penyusunan tafsir sejarah.

Kedudukan folklor dan sejarah lisan sangat penting ketika upaya untuk merekonstruksi ulang pemaknaan sejarah mengalami jalan buntu. Kebuntuan yang merupakan muara minimnya data primer yang “dikuasai” penjajah. Untuk mencari jalan tengah dan pintas diperlukan data lain berupa folklor dan sejarah lisan. Minimal tugas sejarah sebagai pelestari nilai dapat diwujudkan.  Karena belajar sejarah adalah menggali dan melestarikan nilai-nilai kemanusiaan dan kesemestaan. Maka, secara pribadi penulis untuk sementara mengamini pesan Cak Nun, budayawan Jombang, bahwa Ini jangan dipercaya, tapi jangan pula dianggap remeh! Ketika itu dilakukan, keajaiban demi keajaiban akan kita temukan. Seperti yang sering penulis alami ketika mengabadikan jejak spiritualitas Bung Karno dalam kemasan trilogi, meliputi Candradimuka, Pulung Kepresidenan, dan Pamor Surut.

Sebagai wujud syukur atas lahirnya anak-anak muda yang getol memburu dan mendokumentasikan folklor, khususnya legenda, maka saya ucapkan selamat kepada adik-adik mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, yang telah melahirkan karya Inventarisasi Cerita Rakyat di Jombang. Semoga karya ini tetap abadi untuk dikenang dan diamalkan penghuni semesta. Salam santun, budaya, dan bahagia…
_________
  Fa Xian, Catatan Tentang Negeri-Negeri Buddha, dalam Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok di Indonesia, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2005, hlm. 15. Herman Sinung Janutama, Majapahit Kerajaan Islam. Noura Books, Jakarta, 2014, hlm. 5.
  Herman Sinung Janutama, Op. Cit. hlm. 5.
***

*) Disampaikan dalam Diskusi Buku Inventarisasi Cerita Rakyat di Jombang, Selasastera Boenga Ketjil #25, 16 Pebruari 2018.
**) Penulis adalah pemulung sejarah, pengamen budaya, dan ketua suku sanggar tari Lung Ayu Jombang. WA 081654978821

Tidak ada komentar:

Posting Komentar